NAMA : DHANI SAFITRI
NPM
: 31111981
KELAS : 2DB14
MAKALAH POLITIK DAN KEMISKINAN DI
INDONESIA
Bab 1
Pendahuluan
1.1.Latar
Belakang
Sejak tahun 2012, para analis Indonesia dan manca negara, dibawah naungan
Program Analisa Kemiskinan di Indonesia (INDOPOV) di kantor Bank Dunia Jakarta,
telah mempelajari karakteristik kemiskinan di Indonesia. Mereka telah berusaha untuk mengidentifikasikan apa
yang bermanfaat dan tidak bermanfaat
dalam upaya pengentasan
kemiskinan, dan untuk memperjelas pilihan-pilihan apa saja yang tersedia untuk
Pemerintah dan lembaga- lembaga non-pemerintah dalam upaya mereka untuk
memperbaiki standar dan kualitas kehidupan masyarakat miskin
Makalah mencoba untuk menganalisa sifat multi-dimensi
dari kemiskinan di Indonesia pada saat ini melalui pandangan baru yang
didasarkan pada perubahan-perubahan penting yang terjadi di negeri ini selama
satu dekade terakhir. Sebelum ini, Bank Dunia telah menyusun Kajian-Kajian
Kemiskinan, yaitu pada tahun 1993 dan 2001, namun kajian-kajian tersebut tidak
membahas masalah kemiskinan secara mendalam. Kajian ini memaparkan kekayaaan
pengetahuan yang dimiliki oleh Bank Dunia dan Pemerintah Indonesia dan penulis
berharap bahwa kajian ini akan menjadi sumbangan penting untuk menghangatkan
diskusi kebijakan yang ada dan, pada akhirnya akan membawa perubahan dalam
penyusunan kebijakan dan pelaksanaan upaya-upaya pengentasan kemiskinan.
Indonesia
yang sekarang tentu saja sangat berbeda dari Indonesia satu dekade yang lalu.
Maka bukan hal yang mengejutkan apabila strategi-strategi pengentasan
kemiskinan telah berubah seiring dengan perubahan yang telah dialami oleh
Indonesia oleh karena itu dibuatlah makalah yang berjudul “Pengentasan
Kemiskinan” dan penulis sangat berharap bahwa kajian kemiskinan ini dapat
menjadi sumbangan berarti dalam menghadapi berbagai tantangan.
1.2.Pokok Pembahasan
Dalam
makalah ini penulis akan membahas tentang:
1. Apa pengertian kemiskinan?
2. Bagaimana cara mengukur kemiskinan?
3. Apa saja penyebab kemiskinan?
4. Bagaimana keadaan kemiskinan di
Indonesia?
5. Apa saja yang harus diprioritaskan
dalam pengentasan kemiskinan?
1.3.Tinjauan Pustaka
Menurut
Frances Fox Piven dan Richard A Cloward (Regulating the Poor: The Functions of
Public Welfare, Vintage Books 1993), kemiskinan meliputi tiga aspek (1)
kekurangan materi dan kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar, yang
biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan
pelayanan kesehatan; (2) tidak terpenuhinya kebutuhan sosial, termasuk
keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi
dalam masyarakat, termasuk dalam pendidikan dan informasi; dan (3) kurangnya
penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat
berbeda-beda, tergantung konteks politik dan ekonomi suatu negara
Specker
(1993) mengatakan bahwa kemiskinan mencakup (1) kekurangan fasilitas fisik bagi
kehidupan yang normal, (2) gangguan dan tingginya risiko kesehatan, (3) risiko
keamanan dan kerawanan kehidupan sosial ekonomi dan lingkungannya, (4)
kekurangan pendapatan yang mengakibatkan tidak bisa hidup layak, dan (5)
kekurangan dalam kehidupan sosial yang dapat ditunjukkan oleh ketersisihan sosial,
ketersisihan dalam proses politik, dan kualitas pendidik yang rendah.
Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial telah mendefinisikan kemiskinan
sebagai berikut: Kemiskinan memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya
tingkat pendapatan dan sumber daya produktif yang menjamin kehidupan
berkesinambungan; kelaparan dan kekurangan gizi; rendahnya tingkat kesehatan;
keterbatasan dan kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan-layanan pokok
lainnya, kondisi tak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat;
kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang
tidak aman; serta diskriminasi dan keterasingan sosial. Kemiskinan juga
dicirikan oleh rendahnya tingkat partisipasi dalam proses pengambilan keputusan
dalam kehidupan sipil, sosial dan budaya. Maxwell (2007) menggunakan istilah
kemiskinan untuk menggambarkan keterbatasan pendapatan dan konsumsi,
keterbelakangan derajat dan martabat manusia, ketersingkiran sosial, keadaan
yang menderita karena sakit, kurangnya kemampuan dan ketidakberfungsian fisik
untuk bekerja, kerentanan (dalam menghadapi perubahan politik dan ekonomi),
tiadanya keberlanjutan sumber kehidupan, tidak terpenuhinya kebutuhan dasar,
dan adanya perampasan relatif (relative deprivation). Poli (1993) menggambarkan
kemiskinan sebagai keadaan; ketidakterjaminan pendapatan, kurangnya kualitas
kebutuhan dasar, rendahnya kualitas perumahan dan aset-aset produktif;
ketidakmampuan memelihara kesehatan yang baik, ketergantungan dan ketiadaan
bantuan, adanya perilaku antisosial (anti-social behavior), kurangnya dukungan
jaringan untuk mendapatkan kehidupan yang baik, kurangnya infrastruktur dan
keterpencilan, serta ketidakmampuan dan keterpisahan. Bappenas dalam dokumen
Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan juga mendefinisikan masalah
kemiskinan bukan hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga masalah kerentanan
dan kerawanan orang atau sekelompok orang, baik laki-laki maupun perempuan
untuk menjadi miskin. Masalah kemiskinan juga menyangkut tidak terpenuhinya
hak-hak dasar masyarakat miskin untuk mempertahankan dan mengembangkan
kehidupan bermartabat. Pemecahan masalah kemiskinan perlu didasarkan pada
pemahaman suara masyarakat miskin, dan adanya penghormatan, perlindungan dan
pemenuhan hak-hak mereka, yaitu hak sosial, budaya, ekonomi dan politik. Oleh
karena itu, strategi dan kebijakan yang dirumuskan dalam strategi nasional
pengentasan kemiskinan didasarkan atas pendekatan berbasis hak (Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, 2005).
Menurut Sallatang (1986) bahwa kemiskinan adalah ketidakcukupan
penerimaan pendapatan dan pemilikan kekayaan materi, tanpa mengabaikan standar
atau ukuran-ukuran fisiologi, psikologi dan sosial. Sementara itu, Esmara
(1986) mengartikan kemiskinan ekonomi sebagai keterbatasan sumber-sumber
ekonomi untuk mempertahankan kehidupan yang layak. Fenomena kemiskinan umumnya
dikaitkan dengan kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang
layak. Menurut Basri (1995) bahwa kemiskinan pada dasarnya mengacu pada keadaan
serba kekurangan dalam pemenuhan sejumlah kebutuhan, seperti sandang, pangan,
papan, pekerjaan, pendidikan, pengetahuan, dan lain sebagainya. Sementara itu,
menurut Badan Pusat Statistik (2000), kemiskinan didefinisikan sebagai pola
konsumsi yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480
kg/kapita/tahun di daerah perkotaan. Kemiskinan jamak terjadi di negara
berkembang, namun eksis pula di negara maju dalam bentuk komunitas tunawisma
dan ghetto (daerah kumuh). Di Indonesia sendiri, menurut data Tim Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan (dibentuk tahun 2005 melalui Perpres Nomor 54, lihat
www.tkpkri.org), Pemerintah telah melaksanakan program penanggulangan
kemiskinan sejak tahun 1960-an melalui strategi pemenuhan kebutuhan pokok
rakyat yang tertuang dalam Pembangunan Nasional Berencana Delapan Tahun
(Penasbede). Namun program tersebut terhenti di tengah jalan akibat krisis
politik tahun 1965. Adapun pada era Orba, melalui Repelita dilakukan strategi
khusus menuntaskan masalah kesenjangan sosial-ekonomi, yang mengerucut menjadi
program Inpres Desa Tertinggal ( IDT). Namun, usaha Orba ini pun gagal akibat
krisis ekonomi dan politik tahun 1997.
Selanjutnya,
era reformasi menelurkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) Keppres Nomor 190
Tahun 1998. Berbagai usaha di atas belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Data
UNDP menyebutkan, Indeks Kemiskinan Manusia (Human Poverty Index-HPI) yang
memfokuskan perhatiannya pada proporsi manusia yang berada di bawah ambang
batas dimensi pembangunan manusia yang sama dengan indeks pembangunan
manusia-panjang umur dan hidup sehat, memiliki akses terhadap pendidikan, dan
standar hidup yang layak, menyimpulkan Nilai HP-1 untuk Indonesia, yaitu 18,5,
berada di urutan 41 dari 102 negara berkembang (data tahun 2005). Indeks ini semakin
buruk dalam krisis energi dan pangan saat ini, ketika harga melonjak dan
membuat pemenuhan kebutuhan dasar (pangan, pendidikan, kesehatan) semakin tak
terjangkau
Sebagai
sebuah kondisi laten dalam denyut nadi bangsa, kemiskinan akan tetap menjadi
perhatian semua stakeholder, khususnya terkait kampanye Pemilu 2009. Pemahaman
terhadap kondisi objektif kemiskinan, ditambah data-data dan fakta, serta
diolah dengan logika-kreatif iklan akan menghasilkan "dagangan" yang
dibungkus indah dalam retorika dan advertensi.
Lihat
saja kampanye beberapa tokoh yang sejak beberapa saat lalu sudah berseliweran
di media elektronik. Prabowo misalnya, mewacanakan kemiskinan untuk disikapi
dengan usaha produktif dan pemberdayaan masyarakat kecil (petani), dengan
"mari kita beli bahan pangan bergizi dari petani kita...", sehingga
"macan Asia (Indonesia-pen) akan mengaum kembali". Sedangkan Wiranto,
sempat menimbulkan kegerahan politik dengan kritikan pedasnya terhadap rezim
SBY soal janji tidak akan menaikkan harga BBM. Lagi-lagi anchor point-nya
adalah persoalan kemiskinan, yakni jangan bebani rakyat yang sudah miskin
dengan kebijakan yang tidak populer dan memperparah keadaan.
Logika
iklan adalah bagaimana menjadikan dagangan laku terjual, dengan segala cara.
Jamak terjadi, iklan mempergunakan data-fakta secara berlebihan dan melenceng,
mengecoh, mengelabui, dan bahkan menipu konsumen. Seperti diungkap oleh
Vilhjalmur Stefansson (Discovery, 1964), "What is the difference between
unethical and ethical advertising? Unethical advertising uses falsehoods to
deceive the public; ethical advertising uses truth to deceive the public",
yakni, setiap iklan akan menggunakan kebenaran ataupun kekeliruan untuk
mengelabui public.
Yang
perlu kita waspadai adalah penyesatan publik lewat tema kemiskinan ini, memoles
janji untuk memikat suara rakyat. Padahal, kita sudah kenyang dengan pengalaman
sulitnya menagih janji yang terucap dalam kampanye. Kepedulian pada orang
miskin hanya temporer, dangkal, dan semu.
Belum
ada upaya menggodok gagasan pemberantasan kemiskinan ini menjadi sesuatu yang
heroik namun realistis, seperti halnya ketika Sukarno berjumpa dengan petani
miskin Pak Marhaen, yang menghasilkan marhaenisme yang secara ideologis-praksis
digunakan untuk menyemangati rakyat agar mandiri.
Bab 2
Pembahasan
2.1 Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan
adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai
seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini
berhubungan erat dengan kualitas hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak
adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah
kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara.
Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara
subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan
evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah
mapan. Istilah "negara berkembang" biasanya digunakan untuk merujuk
kepada negara-negara yang "miskin".
Kemiskinan
dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
• Gambaran kekurangan materi, yang biasanya
mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan
kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan
barang-barang dan pelayanan dasar.
• Gambaran tentang kebutuhan sosial,
termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk
berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi.
Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup
masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
• Gambaran tentang kurangnya penghasilan
dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda
melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.
Sedangkan
Kepala Badan Pusat Statistik , Rusman Heriawan mengatakan seseorang dianggap
miskin apabila dia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimal. Kebutuhan
hidup minimal itu adalah kebutuhan untuk mengkonsumsi makanan dalam takaran
2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan minimal non makanan seperti
perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi. "Jadi ada kebutuhan
makanan dalam kalori dan kebutuhan non makanan dalam rupiah. Kalau rupiahnya
yang terakhir adalah Rp 182.636 per orang per bulan," kata Rusman Heriawan
kepada BBC. Dengan definisi itu, jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2008
mencapai sekitar 35.000.000 jiwa.
Angka
itu merupakan hasil survei sosial ekonomi nasional, Susenas dengan sampel hanya
68.000 rumah tangga, padahal jumlah rumah tangga di Indonesia mencapai
55.000.000. Menurut ahli statistik dari Institut Teknologi Surabaya, Kresnayana
Yahya, cara pandang pemerintah terhadap kemiskinan tidak mencerminkan realitas.
"Ada
yang tidak diperhitungkan, perusak-perusak kalori. Orang merokok bisa enam
sampai tujuh batang. Itu sebenarnya negatif. Dia bisa mengatakan belanjanya
sekian, tetapi di dalamnya ada enam-tujuh batang rokok," kata Kresnayana
Yahya.
2.2 Mengukur Kemiskinan di
Indonesia
Kemiskinan
bisa dikelompokan dalam dua kategori , yaitu Kemiskinan absolut dan Kemiskinan
relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standard yang konsisten ,
tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat / negara. Sebuah contoh dari pengukuran
absolut adalah persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yg cukup
menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk
laki laki dewasa).
Bank
Dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dengan pendapatan dibawah
USD $1/hari dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah $2 per hari,
dengan batasan ini maka diperkiraan pada 2001 1,1 miliar orang didunia
mengkonsumsi kurang dari $1/hari dan 2,7 miliar orang didunia mengkonsumsi
kurang dari $2/hari."Proporsi penduduk negara berkembang yang hidup dalam
kemiskinan ekstrem telah turun dari 28% pada 1990 menjadi 21% pada 2001.Melihat
pada periode 1981-2001, persentase dari penduduk dunia yang hidup dibawah garis
kemiskinan $1 dolar/hari telah berkurang separuh. Tetapi , nilai dari $1 juga
mengalami penurunan dalam kurun waktu tersebut.
Meskipun
kemiskinan yang paling parah terdapat di dunia bekembang, ada bukti tentang
kehadiran kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini
menghadirkan kaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran
kota dan ghetto yang miskin. Kemiskinan dapat dilihat sebagai kondisi kolektif
masyarakat miskin, atau kelompok orang-orang miskin, dan dalam pengertian ini
keseluruhan negara kadang-kadang dianggap miskin. Untuk menghindari stigma ini,
negara-negara ini biasanya disebut sebagai negara berkembang.
2.3 Penyebab Kemiskinan di
Indonesia
Kemiskinan
banyak dihubungkan dengan:
• penyebab individual, atau patologis, yang
melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari
si miskin;
• penyebab keluarga, yang menghubungkan
kemiskinan dengan pendidikan keluarga;
• penyebab sub-budaya ("subcultural"),
yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau
dijalankan dalam lingkungan sekitar;
• penyebab agensi, yang melihat kemiskinan
sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi;
• penyebab struktural, yang memberikan alasan
bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
Meskipun
diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari
kemalasan, namun di Amerika Serikat (negera terkaya per kapita di dunia)
misalnya memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja miskin;
yaitu, orang yang tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih
gagal melewati atas garis kemiskinan.
2.4
Pengetasan atau Penanggulangan Kemiskinan Di Indonesia
Pengentasan
kemiskinan tetap merupakan salah satu
masalah yang paling mendesak di Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia yang hidup
dengan penghasilan kurang dari AS$2-per hari hampir sama dengan jumlah total
penduduk yang hidup dengan penghasilan kurang dari AS$2- per hari dari semua
negara di kawasan Asia Timur kecuali Cina.
Komitmen
pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan tercantum dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009 yang disusun berdasarkan Strategi Nasional
Penanggulangan Kemiskinan (SNPK). Di
samping turut menandatangani Tujuan Pembangunan Milenium (atau Millennium
Development Goals) untuk tahun 2015, dalam RPJM-nya pemerintah telah menyusun
tujuan-tujuan pokok dalam pengentasan kemiskinan untuk tahun 2009, termasuk
target ambisius untuk mengurangi angka kemiskinan dari 18,2 persen pada tahun
2002 menjadi 8,2 persen pada tahun 2009.
Walaupun angka kemiskinan nasional mendekati kondisi sebelum krisis, hal
ini tetap berarti bahwa sekitar 40 juta
orang saat ini hidup di bawah garis kemiskinan.
Lagi pula, walaupun Indonesia sekarang merupakan negara berpenghasilan
menengah, proporsi penduduk yang hidup dengan penghasilan kurang dari AS$2-per
hari sama dengan negara-negara berpenghasilan rendah di kawasan ini, misalnya
Vietnam.
Ada tiga ciri yang menonjol dari kemiskinan
di Indonesia. Pertama, banyak rumah
tangga yang berada di sekitar
garis kemiskinan nasional, yang setara dengan PPP AS$1,55-per hari, sehingga
banyak penduduk yang meskipun tergolong tidak miskin tetapi rentan terhadap
kemiskinan. Kedua, ukuran kemiskinan didasarkan pada pendapatan, sehingga
tidak
menggambarkan batas kemiskinan yang sebenarnya. Banyak orang yang mungkin tidak
tergolong (miskin dari segi pendapatan)
dapat dikategorikan sebagai miskin atas dasar kurangnya akses terhadap
pelayanan dasar serta rendahnya indikator-indikator pembangunan manusia. Ketiga, mengingat sangat luas dan
beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan
antar
daerah merupakan ciri mendasar dari kemiskinan di Indonesia.
1. Banyak penduduk Indonesia rentan
terhadap kemiskinan. Angka kemiskinan nasional
sejumlah
besar penduduk yang hidup sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional.
Hampir 42 persen dari seluruh rakyat
2. Kemiskinan
dari segi non-pendapatan adalah masalah yang
lebih serius dibandingkan dari kemiskinan dari segi pendapatan.
Bidang-bidang khusus yang patut diwaspadai adalah:
• Angka gizi buruk (malnutrisi) yang tinggi
dan bahkan meningkat pada tahun-tahun terakhir: seperempat anak di bawah usia
lima tahun menderita gizi buruk di
Indonesia, dengan angka gizi
buruk tetap sama dalam tahun- tahun terakhir kendati telah terjadi penurunan
angka kemiskinan.
• Kesehatan ibu yang jauh lebih buruk
dibandingkan dengan negara-negara di kawasan yang sama, angka kematian ibu di
Indonesia adalah 307 (untuk 100.000 kelahiran hidup), tiga kali lebih besar
dari Vietnam dan enam kali lebih besar dari Cina dan Malaysia hanya sekitar 72
persen persalinan dibantu oleh bidan terlatih.
• Lemahnya
hasil pendidikan. Angka melanjutkan dari
sekolah dasar ke
sekolah menengah masih rendah,
khususnya di antara penduduk miskin: di antara kelompok umur 16-18 tahun pada
kuintil termiskin, hanya 55 persen yang lulus SMP, sedangkan angka untuk
kuintil terkaya adalah 89 persen untuk kohor yang sama.
• Rendahnya akses terhadap air bersih, khususnya di antara
penduduk miskin. Untuk kuintil
paling rendah, hanya 48 persen yang
memiliki akses air bersih di daerah pedesaan, sedangkan untuk perkotaan, 78
persen.
• Akses terhadap sanitasi merupakan masalah
sangat penting. Delapan puluh persen
penduduk miskin di pedesaan dan 59 persen penduduk miskin di perkotaan tidak
memiliki akses terhadap tangki septik, sementara itu hanya kurang dari satu persen
dari seluruh penduduk Indonesia yang terlayani oleh saluran pembuangan kotoran
berpipa.
3. Perbedaan antar daerah yang besar di
bidang kemiskinan. Keragaman antar daerah merupakan ciri khas Indonesia, di
antaranya tercerminkan dengan adanya perbedaan antara daerah pedesaan dan
perkotaan. Di pedesaan, terdapat sekitar 57 persen dari orang miskin di
Indonesia yang juga seringkali tidak memiliki akses terhadap pelayanan
infrastruktur dasar hanya sekitar 50 persen masyarakat miskin di pedesaan
mempunyai akses terhadap sumber air
bersih,
dibandingkan dengan 80 persen bagi masyarakat miskin di perkotaan. Tetapi yang penting, dengan melintasi
kepulauan Indonesia yang sangat luas, akan ditemui perbedaan dalam
kantong-kantong kemiskinan di dalam daerah itu sendiri.
2.5
Prioritias Untuk Pengentasan Kemiskinan di Indonesia
Strategi
pengentasan kemiskinan yang efektif bagi Indonesia terdiri dari tiga komponen:
• Membuat Pertumbuhan Ekonomi
Bermanfaat bagi Rakyat Miskin
• Membuat Layanan Sosial Bermanfaat
bagi Rakyat Miskin.
• Membuat Pengeluaran Pemerintah
Bermanfaat bagi Rakyat Miskin
Sebagai
kesimpulan, masalah kemiskinan Indonesia yang terus ada dan bersifat khas,
digabung dengan prioritas pemerintah dan kemampuan fiskal untuk menanganinya,
Indonesia saat ini berada dalam posisi untuk meraih kemajuan yang berarti dalam
upaya mengentaskan kemiskinan.
Pertanyaannya adalah: dari mana semua harus dimulai? Berbagai
tindakan
diperlukan
di beberapa bidang untuk menangani empat butir penting dalam pengentasan
kemiskinan di Indonesia yaitu:
a. mengurangi kemiskinan dari segi
pendapatan melalui pertumbuhan
b. memperkuat kemampuan sumber daya
manusia
c. mengurangi tingkat kerentanan dan
risiko di antara rumah tangga miskin, dan
d. memperkuat kerangka kelembagaan untuk
melakukannya dan membuat kebijakan publik lebih memihak masyarakat miskin.
Mengingat
ke-empat butir tersebut di atas, maka ada 16 tindakan berikut merupakan
prioritas untuk dilakukan dengan segera. Ke 16 tindakan itu yaitu:
1) Hapuskan larangan impor beras.
2) Lakukan investasi di bidang pendidikan
dengan fokus pada perbaikan akses dan keterjangkauan sekolah menengah serta
pelatihan ketrampilan bagi masyarakat miskin, sambil terus meningkatkan mutu
dan efisiensi sekolah dasar.
3) Lakukan investasi di bidang kesehatan
dengan fokus pada perbaikan mutu layanan kesehatan dasar (oleh pemerintah dan
swasta) dan akses yang lebih baik ke layanan kesehatan.
4) Suatu upaya khusus diperlukan untuk
menangani angka kematian ibu yang sangat tinggi di Indonesia.
5) Perbaiki mutu air bagi masyarakat miskin
dengan menggunakan strategi berbeda antara daerah pedesaan dengan perkotaan.
6) Tangani
krisis sanitasi yang
dihadapi Indonesia dan masyarakat
miskinnya.
7) Luncurkan program berskala besar untuk
melakukan investasi pembangunan jalan desa.
8) Perluas (sampai tingkat nasional)
pendekatan pembangunan berbasis masyarakat (CDD) Indonesia yang sukses.
9) Pengembangan secara utuh sistem jaminan
sosial komprehensif yang mampu menangani risiko dan kerentanan yang dihadapi
oleh masyarakat miskin dan hampir miskin.
10) Revitalisasi pertanian melalui investasi di
bidang infrastruktur dan membangun kembali riset dan penyuluhan.
11) Memperlancar sertifikasi tanah dan
memanfaatkan kembali tanah gundul dan tidak subur untuk penggunaan yang
produktif.
12) Membuat peraturan ketenagakerjaan yang lebih
fleksibel.
13) Perluas jangkauan layanan keuangan bagi
masyarakat miskin dan tingkatkan akses usaha mikro dan kecil ke pinjaman
komersial.
14) Perbaiki fokus kepada kemiskinan dalam
perencanaan dan penganggaran di tingkat nasional untuk penyediaan layanan.
15) Jalankan
program pengembangan kapasitas
untuk meningkatkan kapasitas
pemerintah daerah dalam merencanakan,
menganggarkan dan melaksanakan program pengentasan kemiskinan.
16) Perkuat monitoring dan kajian terhadap program kemiskinan.
Bab 3
Pemecahan Masalah
Meskipun
demikian, penulis berpandangan ada beberapa hal yang dapat dijadikan acuan bagi
pemerintahan guna memaksimalkan upaya pengetasan kemiskinan di indonesia dapat
di tempuh dengan cara cara berikut.
1. Pengetasan kemiskinan lewat pengadaan
lapangan kerja harus sangat mempertimbangkan tingkat pengembangan industri dan
integrasi sebuah negara di pasar dunia. Negara seperti Indonesia yang tingkat
pertumbuhan industrinya belum maju dan sektor informalnya masih sangat
mendominasi, perlu mempertimbangkan strategi yang pas. Hasrat untuk mampu
bersaing dalam pasar global selayaknya diimbangi dengan berbagai upaya untuk
mendukung usaha kecil sebagai basis industrialisasi.
2. Negara berkembang dengan potensi pasar
yang luas seperti Indonesia sangat rentan diintervensi oleh lembaga-lembaga
keuangan internasional (baca: World Trade Organization, International Monetary
Fund, dan World Bank) serta negara-negara industri maju untuk membuka pasarnya
dan menghilangkan subsidi. Jika permintaan itu dipenuhi, maka tidak pelak lagi
akan berdampak pada anjloknya tingkat upah pekerja yang selanjutnya potensial
berujung pada meningkatnya jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK). Itu berarti
jumlah orang miskin di Indonesia akan semakin bertambah banyak.
3. Kesempatan yang sama harus diberikan
dalam persaingan antara usaha kecil dan menengah padat modal maupun antar usaha
kecil itu sendiri. Pemberian kesempatan yang sama tersebut tentunya harus
diimplementasikan lewat berbagai kebijakan dan regulasi.
4. Pemetaan masalah dan potensi sebuah
negara serta strategi pembangunan yang spesifik hanya akan dapat diterima luas
jika hal tersebut dilakukan dengan melibatkan seluruh lapisan sosial ekonomi
masyarakat, terutama kaum tak berpunya. Jadi, tak hanya melibatkan para
pengusaha atau kaum berpunya saja. Dengan mengacu pada empat hal di atas, dalam
kaitan perumusan kebijakan pengetasan kemiskinan, maka Indonesia diharapkan
dapat mencapai salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs), yaitu
mengurangi separuh jumlah penduduk miskin. MDGs merupakan proyek kemanusiaan
yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) selama kurun waktu lima
belas tahun (2000-2015). MDGs disepakati oleh seluruh anggota PBB, termasuk
Indonesia. Dengan demikian hanya tujuh tahun sisa waktu yang dimiliki oleh
Indonesia untuk mengurangi separuh jumlah penduduk miskin.
DuaParadigma
Ada
semacam kesepakatan luas, jika pengentasan kemiskinan menjadi motif utama dari
kebijakan pembangunan, maka pengadaan dan peningkatan penghasilan orang miskin
menjadi tujuan terpenting seluruh kegiatan. Namun, dalam kaitan itu, ada dua
paradigma berbedatentangcarapencapaiannya.
Pertama, keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah obat paling mujarab untuk
mengentaskan kemiskinan karena akan menyerap banyak tenaga kerja. Namun,
realitas empiris menunjukkan hal yang sebaliknya. Hal itu tak lain disebabkan
oleh maraknya cara berproduksi padat modal dan hemat tenaga kerja.
Kedua, keyakinan bahwa orang miskin harus dibantu untuk mendapatkan
penghasilan. Sektor usaha kecil dan menengah (UKM) pun diyakini sebagai sendi
utama perekonomian rakyat. Asumsinya ialah ketika persamaan kesempatan dengan
usaha padat modal tersedia, maka usaha kecil menengah dipercaya akan mampu
meningkatkan investasi, pengembangan usaha, dan penghasilan. Sayangnya,
sebagimana paradigma pertama, belum ditemukan bukti-bukti empiris yang
menyakinkan guna mendukung kebenaran asumsi tersebut. Berpijak dari kedua
paradigma di atas, agaknya memang tidak ada resep instan yang dapat dijadikan
sebagai sebuah pegangan pasti dalam kebijakan pengentasan kemiskinan.
Bab
4.
Kesimpulan
Teori
ekonomi mengatakan bahwa untak memutus mata rantai lingkaran kemiskinan dapat
dilakukan peningkatan keterampilan sumber daya manusianya, penambahan modal
investasi, dan mengembangkan teknologi. Melalui berbagai suntikan maka
diharapkan produktifitas akan meningkat. Namun, dalam praktek persoalannya
tidak semudah itu. Lantas apa yang dapat dilakukan?Program-program kemiskinan
sudah banyak dilaksanakan di berbagai negara. Sebagai perbandingan, di Amerika
Serikat program penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk meningkatkan kerja
sama ekonomi antar negara bagian, memperbaiki kondisi permukiman perkotaan dan
perdesaan, perluasan kesempatan pendidikan dan kerja untuk para pemuda, penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihan bagi orang dewasa, dan pemberian bantuan kepada kaum
miskin usia lanjut. Selain program pemerintah, juga kalangan masyarakat ikut
terlibat membantu kaum miskin melalui organisasi kemasyarakatan, gereja, dan
lain sebagainya.
Berikut
beberapa entry-point yang bisa menjadi panduan bagi semua stakeholder dalam
program pro-kemiskinan:
(1) revitalisasi dan rejuvenasi program
pro-kemiskinan di era lalu yang mempunyai nilai positif, seperti kelompok tani
& nelayan (menggalang kemandirian dan self-learning);
(2) penguatan social security system (Jaring
Pengaman Sosial), yakni harus ditingkatkan hingga jaminan penuh terhadap
kebutuhan dasar, dan dilengkapi dengan penyediaan lapangan kerja dasar
(pemberian "kail" dan "umpan");
(3) kemandirian ekonomi rakyat berupa koperasi
yang kuat dan akuntabel;
(4)
proyek padat karya, terutama untuk infrastruktur, dengan fokus daerah terpencil
dan luar Jawa, yang dilaksanakan secara terencana dan akuntabel;
(5)
peran kelas menengah dan UKMM, yang perlu ditopang dengan kebijakan yang
pro-rakyat, guna menyerap lebih banyak lagi lapangan kerja;
(6)
gerakan berdikari, mencukupi sendiri dengan produk dalam negeri, ekspor barang
jadi yang bernilai tambah, dan pendayagunaan local genius secara optimal.
Masalah
kemiskinan di manapun adalah masalah yang sangat sulit untuk diselesaikan.
Berikut ada 16 cara yang dapat dilakukan untuk mengentasakan kemiskinan
tersebut yaitu:
1) Hapuskan larangan impor beras.
2) Lakukan investasi di bidang pendidikan
dengan fokus pada perbaikan akses dan keterjangkauan sekolah menengah serta
pelatihan ketrampilan bagi masyarakat miskin, sambil terus meningkatkan mutu
dan efisiensi sekolah dasar.
3) Lakukan investasi di bidang kesehatan dengan
fokus pada perbaikan mutu layanan kesehatan dasar (oleh pemerintah dan swasta)
dan akses yang lebih baik ke layanan kesehatan.
4) Suatu upaya khusus diperlukan untuk
menangani angka kematian ibu yang sangat tinggi di Indonesia.
5) Perbaiki mutu air bagi masyarakat miskin dengan
menggunakan strategi berbeda antara daerah pedesaan dengan perkotaan.
6) Tangani
krisis sanitasi yang
dihadapi Indonesia dan masyarakat
miskinnya.
7) Luncurkan program berskala besar untuk
melakukan investasi pembangunan jalan desa.
8) Perluas (sampai tingkat nasional) pendekatan
pembangunan berbasis masyarakat (CDD) Indonesia yang sukses.
9) Pengembangan secara utuh sistem jaminan
sosial komprehensif yang mampu menangani risiko dan kerentanan yang dihadapi
oleh masyarakat miskin dan hampir miskin.
10) Revitalisasi pertanian melalui investasi di
bidang infrastruktur dan membangun kembali riset dan penyuluhan.
11) Memperlancar sertifikasi tanah dan
memanfaatkan kembali tanah gundul dan tidak subur untuk penggunaan yang produktif.
12) Membuat peraturan ketenagakerjaan yang
lebih fleksibel.
13) Perluas jangkauan layanan keuangan bagi
masyarakat miskin dan tingkatkan akses usaha mikro dan kecil ke pinjaman
komersial.
14) Perbaiki fokus kepada kemiskinan dalam
perencanaan dan penganggaran di tingkat nasional untuk penyediaan layanan.
15) Jalankan
program pengembangan kapasitas
untuk meningkatkan kapasitas
pemerintah daerah dalam merencanakan,
menganggarkan dan melaksanakan program pengentasan kemiskinan.
16) Perkuat monitoring dan kajian terhadap program kemiskinan.
Daftar
Pustaka
Diktat
ekonomi makro Universtas Negereri Medan,johson
Sukirno,sadono.Ekonomi
pembangunan,Salemba 4 :Jakarta